Jakarta, (10/10). Indonesia sebagai negara yang terdampak globalisasi akan mudah perlu siaga terhadap ancaman Neo Cortex Warfare. Ini diungkapkan oleh Staf Ahli Kementerian Pertahanan RI DKS Nugraha pada Rakernas LDII, Rabu (10/10) di Pondok Pesantren Minhajurrosyidin, Jakarta.
Globalisasi adalah wujud kemenangan kapitalisme sebagaimana diungkapkan oleh Grabel Susan & Han Jo Chung (2006). Sementara itu Neo Cortex Warfare merupakan cara perang tanpa menggunakan kekerasan. “Neo Cortex Warfare menyimpang dari definisi perang yang di jelaskan oleh Van Clausewitz, yang menerangkan bahwa perang merupakan tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk pada kita,” ujar Nugraha.
Dalam menghadapi globalisasi, Nugraha menyarankan beberapa hal. Pertama, konsolidasi nasional, berupa kepatuhan kepada pemimpin.
Kedua, mengatur kembali pusat gravitasi yang terdiri dari komponen seperti pemimpin, kepercayaan, strategi, dan musuh bersama.
Ketiga, menyusun aset strategi besar nasional. Keempat, konsolidasi sumber daya nasional.
Kelima, pengembangan ketahanan nasional. Keenam, manajemen pertahanan. Ketujuh, penegakan hukum. Terakhir, ukhuwah Islamiyah.
Salah satu bentuk Neo Cortex Warfare adalah Perang Proksi (proxy war) yang menjadi ancaman bersama terhadap Negara Kesatuan RI. Menurut Nugraha, Indonesia memiliki kekuatan dalam menangkis kemungkinan terjadinya perang proksi. Yakni adanya bhinneka tunggal ika.
“Kekuatan Indonesia sebagai Negara dengan penduduk yang mayoritas muslim bukan berasal dari demokrasi, melainkan ke-bhineka tunggal ika-annya. Jangan sampai Islam di Indonesia terkena proxy war,” ujar Nugraha.
Nugraha menambahkan, salah satu ciri Proxy War adalah menyebarnya fitnah dimana-mana. Misalnya, Islam difitnah dan dipecah belah oleh pihak tertentu. Pihak tersebut menguasai nilai-nilai luhur bangsa dan memainkan konflik internal. “Saya berharap LDII terhindar dari proxy war,” lanjutnya.